You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Kelahiran Nahdlatul Ulama

Secara historis, memang dalam dunia Islam saat itu sedang muncul gerakan pembaruan, yang dibawa Muhammad Abduh, yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang begitu berpihak pada ahli hadis. Gerakan ini kemudian mengembangkan dan menyebarkan paham, yang sejauh ini dikembangkan oleh Wahabi. Gerakan Wahabi secara tegas kurang begitu mengakui keberadaan imam mazhab, bahkan menganjurkan umat Islam agar melepaskan diri dari keterikatan pada mazhab. Isu dominan yang diintrodusir oleh mereka adalah anjuran agar umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan dan melepaskan keterikatan dengan ulama mazhab, termasuk juga penolakan terhadap tarekat.

Di kalangan ulama Indonesia, muncul dua pandangan berkaitan dengan wacana tersebut. Syekh Muhammad Khatib menerima sebagian pikiran yang digagas Muhammad ‘Abduh, sementara Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas yang menekuni fikih, ilmu kalam dan tashawuf menolak gagasan itu. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari rupanya lebih tertarik dengan pikiran Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas, sehingga ia mengambil jalan tengah, dengan memadukan pandangan ahlul hadis dan ahlu al-ra’y serta mengikuti empat imam mazhab yang pada saat itu begitu populer, yakni mengikuti Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam teologi, dan mengikuti Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali dalam tashawuf.

Perlu dicatat bahwa di samping telah memunculkan respon dari ulama Indonesia, gerakan Wahabi juga sebenarnya ikut mewarnai pergerakan nasional di Indonesia yang mulai marak di abad XX. Misalnya sebuah Muktamar yang digagas oleh Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), yang berusaha mengatur dan meyatukan sikap umat Islam dalam memperbaiki nasibnya yang terancam oleh politik penjajah Belanda, ikut terwarnai oleh pengaruh Wahabi tadi. Beberapa orang yang mewakili berbagai kelompok Islam yang hadir dalam apa yang disebut Muktamar Alam Islami Hindi As Syarqiyah (Kongres Umat Islam) itu terlibat dalam debat mengenai masalah-masalah khilafiah, sehingga muktamar tersebut gagal menggalang persatuan umat Islam. Namun, ada beberapa hasil penting yang dicapai dalam muktamar tersebut :
1. Al-Quran dan al-Hadits adalah dasar semua ajaran Islam.
2. Para imam pendiri mazhab telah sampai pada rumusan hukum-hukum mereka setelah mengaji secara seksama teks al-Quran dan al-Hadits.
3. Untuk memurnikan dan memberi penjelasan tentang berbagai cabang ilmu Islam serta mempelajari kitab-kitab agama perlu meneruskan penelitian sampai kepada al-Quran dan al-Hadits. Dalam menafsirkan al-Quran tidak boleh sesuka hati, tapi harus menggunakan peralatan dan kelengkapan dari berbagai macam pengetahuan.

Meski terkesan kompromistis, hasil-hasil tersebut memperlihatkan bahwa upaya pembaharuan yang dilancarkan oleh mereka yang mengaku sebagai kaum modernis yang bersemboyan ‘kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, mengikis habis takhayyul, bid’ah serta khurafât’ masih belum berhasil.

Pada muktamar berikutnya, diadakan pada tahun 1924, kaum modernis juga belum banyak mewarnai. Ulama-ulama pesantren yang meneruskan tradisi Walisongo berhasil memberikan warna yang menyolok pada keputusan-keputusan muktamar. Hasilnya antara lain, ijtihad tetap terbuka, tapi tidak dapat dilakukan kecuali dengan syarat mengetahui nashsh al-Quran dan al-Hadits, memahami betul ijma’ para ulama terdahulu, mengetahui bahasa Arab, asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat), asbâb al-wurûd (sebab-sebab munculnya hadits) dan beberapa persyaratan lainnya.

Dalam muktamar-muktamar berikutnya kaum modernis sangat berperan. Namum karena pertikain di antara mereka sendiri, akhirnya muktamar tersebut bubar. Sebagian kelompok modernis yang selalu mengungkit-ungkit masalah khilafiah mendapat tentangan dari kelompok lainnya. Yang mengungkit-ungkit masalah khilafiah menganggap bahwa untuk membenahi umat Islam, debat mengenai khilafiah perlu dilakukan, sementara yang menentangnya berpendapat hal tersebut hanya akan melumpuhkan umat Islam.

Selain masalah itu, masyarakat Islam Indonesia seperti dunia Islam pada umumnya, tengah mengalami guncangan dengan runtuhnya kekuasaan Sultan Turki yang dianggap sebagai khalifah oleh umat Islam. Hal itu mendorong penguasa Mesir, pada tahun 1924, untuk mengadakan kongres tentang khilafat (khilâfah), yang ternyata memperoleh sambutan positif dari segala penjuru dunia Islam, termasuk masyarakat Islam nusantara (Indonesia). Untuk menyambut gagasan itu di tanah air, dibentuk Komite Khilafat yang diketuai oleh Wondoamiseno, dengan anggota Soerjopranoto, H. Fachruddin dan KH. A. Wahab Hasbullah. Karena kongres di Mesir itu diundur, Komite Khilafat mengalihkan perhatiannya pada gagasan kongres tentang masalah yang sama yang diajukan oleh Raja ‘Abd al-;Aziz ibn Sa’ud, penguasa Hijaz yang baru.

Gagasan Raja ibn Sa’ud itu sempat menjadi topik utama dalam dua muktamar Islam di Yogyakarta pada tahun 1925 dan di Bandung pada tahun 1926. Namun, Muktamar di Bandung ternyata hanya mengesahkan pertemuan kaum modernis yang diadakan sebulan sebelumnya, yakni untuk menghadiri Kongres Khilafat di Makkah akan dikirim HOS. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur, sementara KH. A. Wahab Hasbullah disingkirkan. Namun demikian, KH. A. Wahab Hasbullah dan ulama pesantren menitipkan usul kepada delegasi yang ditunjuk, agar penguasa Arab Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana dan ajaran mazhab yang dianut masyarakat Islam. Usul ini ditolak kaum modernis.

Mengingat betapa pentingnya masalah itu, KH. A. Wahab Hasbullah mengambil inisiatif untuk mengadakan musyawarah sendiri mengenai masalah itu dengan ulama-ulama yang berpendirian sama. Langkah ini memperoleh sambutan antusias dari kalangan ulama terkemuka. Pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1334 diadakan pertemuan di rumah KH. A. Wahab Hasbullah di Surabaya, yang dihadiri oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. M. Bisri Sansuri, KH. R. Asnawi, KH. Ma’shum, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Nahrawi, KH. Abdullah Ubaid, KH. Alwi Abdul Aziz, KHA. Halim, KH. Ndoro Munthaha, KH. Dahlan Abdul Qohar dan KH. Abdullah Faqih.

Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting, di antaranya;
pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja ibn Sa’ud kembali ke tanah air. Komite ini akan mengirim delegasi sendiri ke Kongres Umat Islam di Makkah (tentang khilafah) yang terdiri dari KH. A. Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghunaim al-Mishry.

Tugas delegasi adalah menghadap langsung Raja ibn Sa’ud untuk menyampaikan tuntutannya agar ajaran-ajaran mazhab empat tetap dihormati dan melakukan observasi sejauh kebangkitan Islam berjalan, terutama setelah runtuhnya kekuasaan Turki. Delegasi ini memang tidak tergabung dalam Kongres Umat Islam itu, karena wakil umat Islam Indonesia sudah ada. Delegasi Komite Hijaz diterima langsung oleh Raja ibn Sa’ud dan memperoleh tanggapan yang positif darinya. Raja ibn Sa’ud bahkan memberikan jawaban secara tertulis, supaya diketahui oleh anggota Komite Hijaz lainnya. Jawaban itu antara lain berisi janji untuk menjamin dan menghormati ajaran-ajaran mazhab empat dan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh wilayah kerajaan Arab Saudi.

Kedua, pertemuan di Surabaya itu membentuk jam’iyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita ‘izzu al-Islâm wa al-muslimîn, yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Secara singkat, jam’iyyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Setidaknya, ada dua faktor yang mendorong para ulama yang berkumpul saat itu bersepakat untuk membentuk jam’iyyah NU.
Pertama, berkaitan erat dengan langkah politik penjajah Belanda yang melakukan pembatasan ketat terhadap umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah haji. Dalam pandangan penjajah Belanda, umat Islam Indonesia harus dibatasi secara ketat untuk bertemu dengan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, sebab maraknya perlawanan umat Islam Indonesia terhadap penjajah Belanda tidak lepas dari pengaruh umat Islam dari negara-negara lain.
Kedua, pembentukan NU didorong oleh prinsip al-muhâfazhah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebh baik), yang selama ini menjadi pegangan para ulama. Seperti diuraikan di atas, para wali berhasil menyebarkan agama Islam di Indonesia dalam waktu yang relatif cepat juga dengan berpegangan pada prinsip itu.


Sumber : PBNU

No comments:

 

Search

Populer

Clustrmaps

Pengunjung

Powered by Blogger.