You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Trend Cinta Dikalangan Remaja

Perkembangan informasi dewasa ini banyak berpengaruh pada pola pemahaman dan prilaku setiap orang hal ini akan terus berlanjut seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia dalam menjalankan aktivitas sosial. Berkaitan dengan konteks sosial maka tidak lepas dari sebuah sistem yang mengatur, apabila sistem tersebut mampu menjadi leader system maka sudah dapat dipastikan masyarakat akan mudah terbawa arus nilai sistem tersebut.
Satu gejala remaja sekarang ini yang marak terjadi adalah budaya konsumerisme yang berlebihan akibatnya nilai atau norma kebudayaan menjadi sesuatu yang terpinggirkan. Kemungkinan terjadinya dekandensi moral pada remaja kita sangat besar, dalam tulisan ini bahasan hanya di fokuskan pada kebiasaan remaja dalam hal cinta atau implikasinya pada persoalan pacaran dan banyaknya tindakan free sex yang menjadi sebuah budaya dikalangan remaja.
Redefinisi makna Cinta
Kasus perkosaan yang sering menghiasi wajah media massa kita sudah sangat mengakhawatirkan, hal tersebut kalau kita teliti ternyata bersumber dari pola budaya masyarakat (remaja,red) dalam melakukan interaksi sosial jauh dari norma-nor,ma dan aturan agama. Alasan yang sangat dangkal serting dilontarkan oleh remaj kta bahawa mereka sednag mengalami massa mencinta Yang terkadang cinta hanya didefinisikan sederhana dan cenderung bersumber dari adanya dorongan unsur eksternal. Unsur eksternal ini atau penunjang dari timbulnya perasaan cinta setiap manusia.
Kalau kita klasifikasikan ada tiga bagian yang perlu menjadi perhatian dan kajian lebih jauh lagi. Pertama, cinta persfektif aturan normatif agama, kedua, cinta diukur dar sudut filosofis dan yang ketiga cinta yang hanya berasal dari lisan yang mempunyai muatan psikologis.
Aturan normatif setiap agama jelas mengatur bagaimana konteks cinta yang sebenarnya, islam mendefinisikan cinta sebagai fitrah manusia sejak lahir dimana dalam implementasinya seorang manusia harus benar-benar meninggalkan sesembahan selain kepada Allah SWT, tingkatan ini dalam dunia sufistik disebut mahabbah, Rumi seorang tokoh sufi menggambarkan kondisi jiwa seseorang yang sudah berada pada tingkatan ini akan merasa mabuk kepayang dan selalu rindu akan kehadiran sang kekasih, bagi Rumi kerinduan ini ibarat seorang pemabuk yang kecanduan anggur. Pada saat tercapai kemabukan cinta itu terjadilah suatu “perkawinan jiwa” yang menggambarkan kesatuan mistis (Tuhan ada dalam jiwa manusia) dimana sintesa pencinta dan yang dicinta teratasi oleh penafsiran bentuk universal alam semesta (Universal love) cinta semesta tumbuh ketika Tuhan sebagai esensi tunggal sudah menyatu dalam alam pikiran dan alam semesta yang diinterpretasikan lewat kesadaran individu (kontemplasi).
Sedangkan aturan dalam agama lain konsep cinta terdapat dalam agama kristen, perjanjian baru surat Mathius menjelaskan bagaimana cinta terhadap manusia, cinta terhadap alam dan cinta terhadap Tuhan, dan kalau kita ambil konklusi awal ternyata agama tidak menjelaskan secara holistik mengenai konsep cinta secara lebih mendalam misal dalam kerangka filosofis sejauh mana pemahaman setiap manusia dalam mengartikulasikan asal usul cinta yang sudah ada sejak manusia lahir.
Konteks filososfis ini yang perlu menjadi prioritas kajian, alasan bahwa cinta merupakan fitrah setiap manusia seringkali menjadi alat justifikasi setiap pemeluk agama tanpa ada rasionalisasi lebih mendalam.
Cinta yang tumbuh dari jiwa manusia berasal dari lingkungan yang membentuk setiap individu, karakter ini terus berkembang seiring proses sosial yang mendukung individu tertentu, jadi bisa dikatakan cinta merupakan nilai yang dibentuk dan diciptakan oleh manusia sehingga cinta yang tumbuh dalam jiwa itu hanyalah manipulasi semata.
Manipulasi ini sangat berakibat fatal, apabila manusia yang tidak mempunyai potensi karakter positif karena faktor lingkungan yang mendukung nya dari lahir sampai dewasa tidak baik maka dalam proses sosialnya akan mengalami kehancuran psikologis dimana nilai baik dan benar sudah tidak ada batasan lagi dan ini tidak bisa kita salahkan, bisa jadi semuanya itu akibat dari tidak dilibatkannya agama yang memuat kebenaran dan kebaikan universal.
Dari deskripsi diatas ada sedikit pergeseran makna cinta, cinta yang hanya dibentuk oleh keinginan setiap individu dalam komunitas masyarakat tertentu dan cinta yang diciptakan dari studi empiris pemaknaan agama. Lantas apakah cinta yang sekarang dimiliki/dirasakan setiap manusia hanya bentukan dari lingkungan yang turun temurun yang nilai kebenarannya pun masih menjadi tanda tanya besar.
Sejumlah filosof mengartikan cinta sebagai bentuk esensi yang sama dengan nilai baik dan buruk pada diri manusia sehingga dalam proses pemaknaan tidak terlepas dari konsepsi rasionalisasi dan kontemplasi.
Dalam teori epistemologi cinta berasal dari manusia yang berevolusi namun tanpa ada pemikiran agama cinta ini akan mengalami ketidakaturan dalam aplikasinya dimasyarakat karena tidak ada pedoman kebaikan dan keburukan yang sudah disepakati, maka dari itu disinilah peran agama sebagai pedoman dalam mengdefinisikan cinta yang lebih komprehensif dan perlu dipahami bahwa agama akan selalu terkait dengan hal metafisik sehingga tidak menutup kemungkinan setiap manusia harus berani melakukan passing over dalam prosesnya.
Agama manusia didunia mempunyai perbedaan dalam metode pelaksanaan ritual, sedangkan dalam penyembahan cenderung monoteisme, islam dalam hal ini terbuka dengan pemikiran filosof (Ulil albab) karena tanpa ada pemahaman yang benar, sesuatu yang sudah benar akan bisa berubah menjadi kesalahan besar.
Kemajuan pola pikir manusia dari berbagai aspek teknologi dan ilmu pengetahuan telah membawa pada kesimpulan bahwa ilmu berasal dari akal manusia, teknologi menjadi tuhan manusia didunia, yang mana didalammnya tidak ada lagi nuansa religiusitas dalam menganalisa perubahan alam semesta.
Kontekstualisasi cinta dalam kaitan ini harus melalui studi teks kitab suci setiap agama sehingga pada tataran aplikatifnya cinta akan benar-benar berasal dari kesadaran dan pencarian setiap manusia memahamai eksistensi Tuhan.
Cinta dan psikologi manusia
Dari penjelasan terdahulu sudah banyak dikupas tentang terminolgi dari pemikiran filsafat sekarang kita kaji terminologi dalam konteks psikologi.
Pada diri manusia menurut ilmu psikologi terdapat dua sifat yaitu sifat mencintai dan dicintai, memiliki dan dimiliki keduanya merupakan hubungan yang paradok dan terus akan mengalami siklus.
Kamus Webster mendefinisikan cinta yaitu perasaan yang berawal dari akal dan termanifestasikan lewat perbuatan yang berkaitan dengan keindahan, kecantikan, ketenangan dan ketentraman jiwa.
Banyak definisi cinta dari berbagai literatur dan referensi namun dari sekian buku yang ada ternyata tidak bisa menjelaskan hakikat cinta sebenarnya.
Cinta sejati, cinta palsu dan banyak lagi ungkapan yang berkaitan dengan cinta, itu semua ternyata berawal dari proses rasionalisasi atau memaksimalkan potensi akal agar sesuatu yang diinginkan bisa tercapai, tetapi proses ini, jelas bisa berimplikasi positif dan negatif, yang sebagian besar malah bersifat negatif artinya akal hanya di pergunakan pada satu kepentingan saja dengan kata lain cinta yang tumbuh hanya berasal dari akal yang dipaksakan untuk membenarkan keinginan.
Fenomena remaja yang sangat rentan sekali dengan tindak kejahatan sudah menjadi lahan peniyimpangan besar-besaran, hal ini tentunya akibat dari pola pendidikan yang kaku dan cenderung tidak inovatif siswa yang berasal dari bebagi etnik dipakasakan untuk diseragamkan, pendidikan seperti ini akan membawa kepada anak didik yang tidak kreatif dan dalam menghadapi masalah setiap individu akan lebih banyak menggunakan emosi dibandingkan dengan akal yang sehat.
Pemahaman filsafat sejak dini sangat baik bagi perkembangan seorang anak yang beranjak dewasa, sesuai teori psychoanalis jika anak diajarkan untuk berpikir lebih mendalam maka anak akan mampu menghadapi persoalan dengan bijaksana.
Dengan demikian konteks cinta yang menjadi kerangka tulisan ini harus di pikirkan secara sistematis dengan berpikir secara mendalam mengetahui hakikatnya dan mencoba membandingkan dengan psikologi setiap manusia, sehingga cinta tidak akan disalah artikan dengan sempit.
Setelah itu maka akan diperoleh pemikiran dan perasaan yang sinergis antara harapan dan kenyataan, yang mana harapan ini adalah bahwa cinta berasal dari yang Maha memberi cinta dan cinta hanyalah kepalsuan dari akal manusia, cinta sejati hanyalah untuk Dzat yang Maha mulia yaitu Tuhan semesta alam, sedangkan kenyataannya manusia harus bisa membedakan kondisi psikologis dan realita kehidupan sebagai mahluk beragama yang mempunyai aturan yang sangat jelas. Maka kesimpulannya manusia harus bisa mengatur manajemen cinta dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Wallahu’alam bishowab


Oleh : Ilham Munajat Wijaya

No comments:

 

Search

Populer

Clustrmaps

Pengunjung

Powered by Blogger.